Thursday, September 20, 2007

Metafora vs Transparansi


Apakah masih ingat dengan ungkapan-ungkapan pemimpin kita ketika berbicara di depan massa (atau media massa), seperti:
"...jangan sekali-kali melupakan sejarah..", kata bung Karno;
"...Ing ngarsa sung tuladha...", kata Ki Hajar Dewantara;
"...sabdha pandhita ratu...", kata pak Harto;
"...seperti harmoni melodi dalam komposisi...", kata Andi Mallarangeng.
Metafora yang disampaikan oleh pemimpin dalam berbagai kesempatan bagi saya memberikan rasa bagi pendengarnya, walaupun itu terkadang asam, asin, manis, atau bahkan pahit. Namun sayangnya, seiring bergemanya reformasi yang mengedepankan transparansi maka metafora2 seperti ini semakin sulit kita dengar. Jangankan di kalangan pemimpin, bahkan di kalangan guru sekolahpun sudah sulit.

Kehilangan rasa pada pengungkapan sesuatu (baca berkomunikasi) menunjukkan adanya perubahan besar dalam budaya interaksi kita. (Sebenarnya) Ada keraguan/kebingungan yang muncul saat orang bermetafora dalam suasana resmi, tapi itu memberikan dampak imajinasi yang luar biasa. Pada awalnya budaya lugas cukup menarik, karena kita tidak perlu menerjemahkan lebih lanjut kata2 yang kita dengar atau baca. Tapi lambat laun saya merasa seperti berkomunikasi dengan kitab undang-undang, buku peraturan atau text book....menjemukan sekali.