Saturday, September 08, 2012


Mau dapet subsidi? Ngaku miskin dulu....


"Pagi Lik..." begitu sapaku pada Lik Tardi yang sedang minum kopi pahit kesukaan di teras rumahnya.
"Weh lah...kok pagi-pagi nak...mau ngantor?" tanya Lik Tardi.
"Iya, harus masuk jam 7, kan jam macet. Lik Tardi mau bareng?", karena aku pakai mobil sekalian menawari karena tempat kerja dia pasti kelewatan jalurku ke kantor.
"Matur nuwun nak...saya pakai motor saja lebih lincah dan nanti pulangnya nggak repot..." kata beliau sambil tersenyum ramah.
"Siip lah...duluan nggih". (Paling nanti keduluan Lik Tardi di Cicaheum kataku dalam hati).

Lik Tardi adalah seorang karyawan koperasi di sebuah kantor pemerintah. Kebetulan dia mengurusi bagian pergudangan di koperasi tersebut. Sudah hampir 30 tahun dia bekerja di tempat itu. Sabtu pagi kita ngobrol sambil aku cuci mobil dan dia cuci motor. Walaupun motor, tapi tahunnya jauh lebih baru dari mobilku. Motor itu hadiah dari mantan ketua Koperasi tempat dia bekerja, setelah sebelumnya dia selalu menggunakan sepeda onthel.

"gaji njenengan di koperasi berapa pak Lik?" aku beranikan bertanya.
"Alhamdulillah, 1,6 Juta Rupiah sebulan!" jawabnya dengan mantap.
"Nanti njenengan repot atau tidak, kalau pemerintah jadi menaikkan harga bensin?". 
"Sudah dari jaman pak Harto sampai pak SBY, saya manut aja, nak. Udah bisa kerja, bisa nyekolahin 2 anak saya sampai kuliah, udah cukup. Mau opo lagi, lha ya hidup kan memang harus dijalani." 
Lik Tardi ini memang hebat, kedua anaknya sekolah sampai kuliah dan sekarang masing-masing sudah bekerja. Yang satu jadi guru SD dan yang ragil membuka usaha pembuatan mainan anak dan boneka. 

"Apa nggak naik, biaya hidup njenengan?" aku selidik.
"Sebulan, separoh gaji udah buat nyicil rumah dan utang, separonya diatur-atur biar cukup sebulan. Yang penting tiap pagi istriku bisa masak, bisa sedikit nabung, dan saya punya bensin buat ke kantor. Dan alhamdulillah, semuanya berjalan dengan baik." terang beliau. "Ya paling agak repot pas bayaran sekolah dulu, makanya punya utang..hehe."

"Kata pemerintah, kenaikan ini karena konsumsi bensin masyarakat yang boros terutama kaya njenengan sama saya ini, yang punya kendaraan pribadi." tanyaku sambil nyengir.
"Nggak ngerti mas, kalau dibilang boros, wong ya saya tiap hari naik motor cuma ke kantor atau ke pasar nganter istri, habis sekitar 40-50 ribu seminggu. Mau dihemat gimana lagi?" kata beliau.
"Kalau naik kendaraan umum gimana Lik?" tanyaku lebih lanjut.
"Hahaha...sampeyan iki lho, karena naik sepeda udah nggak kuat, yo jelas lebih mahal naik angkot dan lebih nggak tentu waktunya. Tak pikir, yang harus hemat itu pemerintah mas...kita memang harus selalu hemat kan?" Lik Tardi tertawa renyah.
"Lik, cara masyarakat hemat memang macem-macem, tapi maksudnya pemerintah bagus lho...nanti keluarga yang nggak mampu bisa dapat bantuan, untuk biaya sakit, sekolah anak dan lainnya." aku coba jelaskan.
"Lha itu lho, yang menentukan tidak mampu memang pemerintah. Tapi yang menjadikan banyak yang tidak mampu, kan pemerintah juga. Mosok, udah malu jadi orang susah, masih dipermalukan untuk mengaku tidak mampu agar dapat subsidi." "Nggak ketemu nalar, mas!"
Lanjut Lik Tardi, "Saya memang nggak sugih mas, tapi kalau suruh ngaku jadi orang miskin ya malu. Biarin itu tugas perangkat pemerintah menyalurkan, tapi jangan mempermalukan masyarakat suruh ndaftar jadi orang miskin. Wong, kalau mau ngelihat langsung warganya tiap saat, udah jelas kok, mana yang pantes dikasih subsidi."
" hehe...bener juga Lik, inget dulu pak ustadz cerita, waktu jaman Nabi, panitia zakat kebingungan membagi zakat karena warga berebut mempersilahkan orang lain yang lebih pantes menerima" kataku.

"Wis mas, ojo mumet-mumet, bagiku nggak kebagian subsidi yo nggak apa-apa. Masih banyak warga yang lebih miskin, janda sepuh, bekas pejuang, pegawai honorer, orang cacat, buruh tani, yang lebih perlu dibantu." Lik Tardi berusaha menyudahi obrolan karena motornya udah 'kimpling' (bersih.red).
"Leres njenengan, Lik...." jawabku sambil manggut-manggut.
"Yo mas, aku sarapan dhisik terus nganter istriku ke pasar." Tutup Lik Tardi.

Hari itu, aku belajar sesuatu yang istimewa dari Lik Tardi.

Quo Vadis



Ketika langkah terasa berat.
Ketika tujuan terasa menjauh.
Ketika dukungan terasa menghilang.
Ketika sumberdaya terasa menua.

Ketika kesuksesan menjadi biasa.
Ketika harapan sudah terpenuhi.
Ketika jaringan silaturahmi demikian erat.
Ketika diri menjadi Midas.

Quo Vadis?....
Whither goest thou?....
Bersyukur, pasrah, atau menikmati hidup?
Most people will say "Just don't ask!"

Monday, June 30, 2008

This Kind of Bad Feeling

Something I avoided about...but I want it to know...
Somewhere I stayed away...but I want it to be there...
The burden I ignored...but I want it to carry...
The nightmare I obsolete...but I want it to remember...

Nobody wants to be in the paradox situation,
but I want to accept it on my own.
None might be in the chaotic state,
but I have to keep my feet on the ground.

Batara Guru has played his song so deep
Batara Kala has created his travelmachine so unique
then Dewa Ruci is drowned into the seabed
I...don't look like who I was anymore...

This kind of feeling, I never imagined before
I want to keep what I want to belong to
but this is not true...
I feel this is not what I supposed to be happened

I am sorry, I feel guilty
I hurt myself with my falsifiability
I will hurt the people around me

Please make me remained...
even my tears is deserting
even my blood will flow out
even my heart will explode
even I will break into apart.

Tuesday, April 15, 2008